Siang itu, jadwal kuliah telah
berakhir. Aku hanya perlu merapikan tas dan buku yang kubawa kemudian
meninggalkan lab komputer secepatnya karena aku sudah berjanji akan menemui
Yohan setelah ini. Ia mengatakan akan menunggu di parkiran.
Kami akan mengunjungi sebuah café
untuk minum caramel macchiato kesukaanku
dan mengobrol sebentar sebelum Yohan kembali ke kampusnya. Katanya ia akan
pulang sekitar jam 5 sore, artinya kami hanya punya waktu kurang lebih tiga jam
untuk berbincang secara langsung. Ah, sudah lama sejak terakhir kali kami
benar-benar bertemu sekedar untuk mengobrol.
“Jangan lupa kirim file tugasnya
nanti malam. Aku akan menyelesaikan sisanya.” Kata Sindy mengingatkanku.
“Iya, jangan khawatir. Aku juga
sudah tidak mau melihatnya lagi.” Jawabku sambil menyeringai.
Rey tiba-tiba berdiri di hadapanku
dan memberi tatapan merajuk. “Aku tidak mau kalau harus mengulang dari awal
lagi. Jadi, hati-hati.”
Ia benar. Kami bertiga tidak mau
kejadian itu terulang untuk kedua kalinya. Sungguh mimpi buruk.
Aku, Sindy, dan Rey satu kelompok
untuk tugas akhir. Kami perlu menganalisa dan mengolah data yang diberikan oleh
dosen. Tugas tersebut sudah dikerjakan selama lima hari nonstop dan hampir
selesai. Sayangnya, saat akan mengecek ulang, aplikasi yang kami gunakan
diretas oleh orang tidak bertanggung jawab yang ternyata teman—apa masih bisa
disebut begitu?—satu kelas kami. Ia mengaku iri terhadap pencapaian kelompokku
karena semua orang di kelas mengira kami akan gagal sebab ada Rey—siswa paling
tidak diinginkan untuk jadi teman kelompok—di kelompokku.
Aku juga pada awalnya berpikir tamat sudah ketika melihat nama Rey di
daftar teman sekelompokku, tapi setelah banyak kesepakatan, Rey setuju untuk
bekerja sama dalam tugas akhir ini sebaik mungkin. Kamu harus tahu kelemahan
orang yang keras kepala untuk bisa mengendalikannya. Dan syukurlah aku
mengetahui apa kelemahan Rey. Jadi, tidak sulit bagiku untuk bekerja sama
dengannya—mengendalikannya.
Ponselku berdering. Yohan menelepon. Ia pasti sudah di
parkiran. Aku mengangkatnya. “Di mana?”
“Di
depan departemen fakultasmu.” Apa?
“Bukan di parkiran?” aku menahan
ponsel di telinga menggunakan bahu sambil mematikan komputer. Sindy berpamitan
duluan dengan melambaikan tangan dan mengangkat kedua alisnya.
“Terlalu
panas.”
Rey juga berpamitan dan bergegas mengejar Sindy.
“Tunggu sebentar.” Aku mematikan teleponnya.
Setelah merapikan semuanya, aku
langsung menghampiri pintu keluar. Tidak perlu berpamitan pada siapapun karena aku
orang terakhir yang berada di lab. Jadi akulah yang bertugas mematikan lampu
dan mengunci pintunya. Lalu kuncinya aku letakan di tempat biasa, ventilasi
udara. Entahlah, saat aku baru menjadi mahasiswa di sini pun, kunci tersebut
sudah biasa disimpan di sana.
Aku segera menyusuri koridor dengan
bersemangat. Aku tidak tahu kapan lagi bisa bertemu Yohan dan mengobrol untuk
waktu yang lama. Yohan juga pasti sudah menunggu sejak tadi.
Udara musim kemarau menguar begitu
aku mencapai lobi gedung. AC-nya
tidak begitu dingin di sini. Aku juga bisa melihat cahaya terik di luar sana.
Untung saja Yohan tidak mengajak berjalan-jalan.
Aku tidak sanggup jika harus berjalan di bawah cahaya matahari seterik itu.
Sambil terus berjalan, aku menyapa
beberapa kenalan yang kebetulan berpapasan. Untungnya hari ini tidak terlalu
ramai, aku tidak perlu menyapa banyak orang.
Setelah keluar dari gedung, cahaya
terik yang menyorot tadi langsung menusuk kulitku. Tapi aku tidak begitu
menghiraukannya karena dari sini pun aku sudah bisa melihat Yohan berdiri di
bawah pohon dengan setelan khasnya. Celana kain dengan kemeja yang lengannya
digulung. Sepatu kets hitamnya selalu ikut apapun setelan yang ia gunakan.
Bohong jika aku mengatakan kalau aku
tidak menyukainya. Hanya saja kecemasan menahanku untuk berbuat lebih jauh.
Beruntung, Yohan pun tidak keberatan dengan keputusan yang aku buat—dengan
batasan yang kuciptakan. Itulah yang membuatku lebih nyaman saat bersamanya.
Aku tidak perlu khawatir akan melepaskannya karena aku memang tidak pernah
menggenggamnya.
Ia tidak melihat ke arahku saat aku
menghampirinya. Jadi aku mengendap-endap seperti kucing, berniat untuk
mengejutkannya. Tepat satu langkah sebelum aku memberinya kejutan, Yohan
menoleh. Aku terperanjat karena tidak berpikir Yohan akan berbalik. Melihat
reaksi dan raut wajahku yang terkejut, Yohan tersenyum lebar. Tertawa saja, jangan menahannya.
“Kamu tahu betapa lucunya wajah
terkejut itu?” Yohan menirukan ekspresi terkejutku. Sepertinya tidak sejelek itu.
Dengan memajukan bibir aku merajuk,
“itu tidak lucu sama sekali” aku tidak bisa menyembunyikan rasa maluku. Jadi
kualihkan pandangan ke mobil-mobil yang terparkir rapi di sisi lain halaman
gedung. “itu lebih jelek dari yang sebenarnya.”
Yohan tertawa. “Ah, tidak kusangka
akan bertemu denganmu seperti ini.”
“Benar, aku mengacaukannya.”
“Bukan,” Yohan meletakan tangannya
di kedua bahuku dan mau tidak mau aku melihat wajah menyebalkan itu. “aku
melihatmu merajuk, itu jauh lebih baik.”
Aku mengerti kenapa Yohan berkata
demikian, terakhir kali kami bertemu, Yohan datang ke rumah ketika kedua orang
tuaku sedang berkunjung. Situasinya. Sangat. Canggung. Aku tidak bisa
mengatakan Yohan adalah pacarku dan orang tuaku akan curiga jika aku mengatakan
ia hanya teman biasa sementara Yohan adalah kakak tingkat dari fakultas dan
kampus yang berbeda.
“Sudah makan siang?” Yohan mengganti
topik. Dia pengertian.
Aku memikirkan sepiring mie pedas
yang kumakan bersama Sindy dan Rey saat waktu istirahat. Perutku penuh oleh air
karena mie nya terlalu pedas. “Belum.” Aku ingin lebih banyak waktu bersama
Yohan. Untuk meyakinkannya aku kembali tersenyum.
“Ada menu yang mau kamu coba? Atau
restoran yang mau dikunjungi?” Yohan bertanya. “Aku akan pulang nanti malam.”
“Oh?” heranku. Yohan sendiri yang
mengatakan akan pulang sebelum malam tiba. Tapi sekarang ia bilang ia akan
pulang malam. “Kamu punya lebih banyak waktu luang?”
“Iya. Aku ingin mengunjungi semua
tempat yang kamu inginkan. Berjam-jam di laboratorium membuatku mual.”
Yohan sengaja meluangkan banyak
waktu di tengah-tengah sibuknya perkuliahan akhir-akhir ini. Aku tidak bisa
merasa lebih bersyukur daripada saat ini. “Terima kasih.”
“Karena merasa mual?”
“Ish!” aku memukul lengannya.
Bisa-bisanya ia bercanda ketika aku serius. “Karena meluangkan banyak waktu.”
Timpalku dengan kesal.
Yohan terkekeh. “Iya iya, aku tahu.”
“Jadi, mau pergi sekarang?”
tanyanya.
“Hm..” aku langsung menyetujuinya.
Lagipula di luar terlalu panas. Aku ingin cepat-cepat minum caramel macchiato.
Kami kemudian berjalan menuruni
tangga untuk mencapai parkiran.
Seumur hidupku, aku sudah menyesali
banyak hal. Bahkan, ada waktu ketika aku beranggapan bahwa aku bangun di pagi
hari untuk bertemu penyesalan yang lain. Saat itu aku melakukan macam-macam
kegiatan setengah hati—tanpa antusias penuh—sehingga aku jarang merasa puas
akan hasilnya. Meski demikian, aku tidak pernah berkaca pada kesalahan tersebut
dan terus saja mengulanginya. Kalau saja aku sudah berteman dengan Rey waktu
itu, ia pasti akan mengatakan, “aku tidak
mau mengulang dari awal lagi,” tepat di depan mukaku. Dengan begitu aku
bisa cepat sadar.
Aku cenderung merasa nyaman dengan
satu kegiatan berulang. Tidak perlu berhadapan dengan hal baru, tidak perlu
repot-repot mengambil resiko. Itu sebabnya hidupku terkesan tidak menarik dan
sangat membosankan—sedikit tantangan. Namun, aku tidak keberatan.
Di kaki tangga, seseorang muncul dengan langkah
terburu-buru. Ia membawa kantong kertas berwarna biru muda. Ia mengenakan jeans
hitam dengan kaos putih dan kemeja yang tidak dikancingkan. Kantong biru muda
itu kelewat mencolok dibandingkan pakainnya yang serba hitam putih.
Aku menganggapnya lucu hingga ia mendongkakan
kepalanya. Gawat.
Di dunia ini ada banyak sekali kebetulan yang sebagian
orang sebut sebagai takdir, atau jika kebetulan tersebut sesuatu yang baik maka
mereka menyebutnya keberuntungan. Aku tidak pernah merasa sangat beruntung atau
sangat sial selama hidupku. Dunia tidak sesempit itu sehingga kamu bisa bertemu
lagi dengan orang asing yang baru ditemui sekali.
Wajahnya tidak asing. Tentu saja tidak, aku telah memperhatikannya selama sepertiga
hidupku. Apa yang ia lakukan di sini?
Langkahku terhenti dan Yohan yang sudah menuruni satu
tangga di bawahku menoleh. “Kenapa?” tanyanya.
Orang tadi menghampiri kami dan bertanya, “maaf, apa
kalian kenal Tami? Dari Fakultas MIPA.”
Yohan hendak menjawabnya, tapi aku bicara lebih dulu.
“Aku Tami.”
Orang itu tampak sama terkejutnya ketika aku
melihatnya tadi. “Oh…” Ia menggaruk tengkuknya.
“Ada yang bisa aku bantu?” sulit untuk menyembunyikan
getaran di suaraku.
Ia tampak ragu sesaat. Matanya terus bergantian
memperhatikan Yohan dan aku. “Apa kamu punya waktu sebentar? Ada yang ingin
kubicarakan. Aku janji tidak akan lama.”
Di satu sisi, aku ingin mengatakan aku tidak punya waktu, aku sudah punya
janji. Tapi di sisi lain aku ingin sekali meluangkan barang sedikit saja
waktuku untuknya. Ini kesempatan yang tidak bisa kudapatkan dua kali.
“Kalau begitu, kalian bisa mengobrol dulu.” Yohan
meletakan tangannya di bahuku. “Aku akan menunggu di mobil.” Bibirnya
melengkung membuat senyum tipis.
“Tapi—“ Yohan menurunkan tangannya dan menggenggam
tanganku sekilas. Ia mengangguk pelan. “Tidak perlu terburu-buru.” Katanya pada
orang tadi.
“Terima kasih.” Jawabnya.
Kemudian Yohan menuruni tangga dan berjalan menuju
mobilnya. Aku melihat punggungnya semakin menjauh.
Batasan yang kuciptakan membuat Yohan mempercayaiku
tanpa ragu. Itu bagian positifnya. Kadang aku berharap ia bersikap sedikit
posesif dan membuat mataku hanya tertuju padanya. Ada kalanya aku ingin ia
menggenggam tanganku lebih lama dan membawaku pergi dari situasi tidak terduga.
Yohan terlalu patuh.
Aku mengalihkan perhatianku pada orang tadi. Ah, dia punya nama. Ren.
“Bagaimana jika duduk di sana?” aku menunjuk sebuah
bangku taman di tempat yang teduh. Ren mengangguk setuju.
Aku duduk di salah satu ujung bangku dan Ren duduk di
bagian seberangnya. Ia meletakan kantong biru muda tadi di antara kami.
Keheningan seketika muncul ke permukaan. Aku tidak
tahu bagaimana caranya memulai sebuah percakapan. Ren kelihatan sama bingungnya
sepertiku. Jadi kami hanya diam selama beberapa menit.
Aku tidak pernah menceritakan apapun tentang Ren
kepada Yohan. Ia selalu mengatakan, “aku tidak tertarik dengan masa lalu. Aku
akan mengetahuinya kalau memang harus. Tidak perlu sekaligus.” Dan akhirnya
kami pun sepakat untuk tidak membahas tentang masa lalu kecuali sangat
diperlukan.
“Apa kamu masih ingat—“
“Hm…” aku memotongnya. “Aku belum menemukan alasan
untuk lupa.”
“Bagaimana kabarmu?” Ren mengalihkan pandangannya
padaku.
Aku tersenyum sambil menoleh ke arahnya. “Baik.”
Ren pasti menungguku balik bertanya. Tapi aku tidak
melakukannya. Aku tidak tertarik—tidak mau tahu—tentang kabarnya.
Sebagian dari diriku ingin menunjukan antusiasme
karena setelah sekian lama akhirnya aku bisa bertemu lagi dengannya. Sebagian
dari diriku yang lain memaksaku tetap tenang. Aku tidak bisa memutuskan harus
menjadi sebagian dari diriku yang mana.
Mie pedas yang kumakan bersama Sindy dan Rey tadi
rasanya akan segera keluar dari mulutku. Bahkan perutku yang penuh dengan air
mengeluarkan bunyi. Tenanglah!
“Aku rasa sudah cukup lama sejak terakhir kali bertemu
denganmu.” Kata Ren.
Bertemu denganku,
dengkulmu! Akulah yang menemuinya dengan mengorbankan seluruh rasa maluku. Dan itu bukan hanya terakhir kali, tapi yang pertama dan tidak pernah lagi. Sampai hari
ini tiba. “Mungkin,” aku menghargainya dengan menjawab seadanya, “sekitar enam
atau tujuh tahun yang lalu.” Tambahku.
“Benar. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar.”
Setuju.
Karena penasaran, aku bertanya, “apa alasanmu datang
ke sini?”
Ren terdiam sejenak, mungkin saja ia hanya kebetulan
mampir dan teringat kalau aku kuliah di sini. “Ada sesuatu yang ingin aku
sampaikan. Meskipun aku tahu ini sudah sangat terlambat.”
Aku tidak mau
mendengarnya. Entahlah.
“Kamu tidak perlu mengatakan apapun, cukup dengar
baik-baik apa yang akan kukatakan.”
Ia berkata demikian seolah tahu kalau aku tidak
berencana menanggapinya. “Katakan saja kalau begitu.”
Ren bergerak di tempat duduknya. Sepertinya ia
menyiapkan diri untuk bicara panjang lebar. Karena hanya perlu mendengarkan apa
yang ia katakan, aku tidak akan memiliki banyak waktu untuk bersamanya. Itu
kabar yang baik sekaligus menyedihkan. Bahkan setelah bertahun-tahun,
keinginanku selalu sama. Aku kira keinginan itu ikut hilang bersama perasaanku,
tapi ternyata tidak.
“Kamu tahu,” Ren memulainya, “hari itu, sebenarnya
masih ada banyak yang ingin kutanyakan. ‘Kenapa kamu melakukannya?’, ‘Yang
kulakukan mungkin menyakitimu pada titik tertentu, bagaimana kamu bisa
bertahan?’, ‘Apa sungguh hanya aku?’, ‘Pernahkah kamu melihat orang lain?’, ‘Apa
aku yang pertama? Atau mungkin pilihan yang tersisa?’ Rasanya seolah pertanyaan
baru muncul setiap harinya.”
Aku menahan napas.
“Aku juga membaca suratmu lebih dari sekali dalam
sehari. Semakin sering aku membacanya, semakin aku sadar bahwa kamu benar-benar
tulus. Seluruh kalimat yang kamu tulis memiliki arti. Aku sangat terkejut
karena perempuan seusiamu saat itu sudah bisa menulis sebuah surat yang indah.”
Ren tersenyum. Aku tahu ia jujur.
Saat menulis surat itu, aku tidak berpikir panjang.
Aku hanya menuliskan apa yang ingin kusampaikan, apa yang perlu Ren ketahui.
Soal bagaimana tanggapan Ren terhadap surat tersebut, aku tidak peduli.
Mengetahui kalau Ren ternyata berpikir suratku indah,
tentu saja aku senang. Karya asal-asalanku dihargai oleh orang yang kusukai,
itu lebih dari cukup. Sekarang aku tidak mengharapkan apa-apa lagi. Jika Ren
memutuskan untuk mengakhiri percakapan kami sampai sini, aku tidak akan protes.
Aku sudah mendengar apa yang ingin kudengar.
Tapi Ren tetap melanjutkannya. Ia bertanya, “Apa itu
pertama kalinya kamu menulis sebuah surat untuk orang lain?”
Aku mengangguk. “Iya. Kebanyakan surat yang kutulis
pada masa itu adalah tugas sekolah. Jadi, ya, itu pertama kalinya.”
Ren menunduk dan tersenyum. “Jadi aku yang pertama.”
Gumamnya.
Sejujurnya, ada banyak anak laki-laki yang kusukai
saat masih sekolah. Setiap kali naik kelas, orangnya pasti berubah. Sehingga
saat SD, ada kurang lebih 6 anak laki-laki yang kusukai.
Benar. Aku mudah sekali tertarik pada seseorang,
bahkan orang yang baru kutemui untuk pertama kali pun. Hanya saja, saat
sekolah, aku menyukai mereka sebagai teman sekelas yang populer. Aku menyukai
mereka karena orang lain juga menyukainya. Dengan kata lain, aku cuma mengikuti
tren yang sedang ramai.
Ketika melihat Ren untuk pertama kalinya, aku berpikir
ia sama saja seperti teman sekelas yang kusukai. Akan ada masa di mana aku
melihat orang lain dan melupakannya. Terlebih lagi Ren adalah kakak kelas.
Saat itu, menyukai kakak kelas adalah hal yang biasa.
Jika kamu cukup populer, kamu akan langsung dikenali oleh orang yang kamu suka
dan skenario terbaiknya adalah ia mungkin akan menyukaimu juga. Lain halnya
jika kamu hanya siswa biasa tanpa lingkaran pertemanan yang suportif. Kamu
harus berjuang sendirian. Kamu harus memberi kesan pertama yang baik padahal
kamu tidak pernah punya kesempatan untuk menunjukannya. Tapi kenapa aku bisa
bertahan?
Dulu, mungkin aku tidak menyadarinya, tapi sekarang
aku paham. Ren adalah yang pertama kali kusukai sebagai seorang laki-laki. Aku
tidak memandangnya sebagai kakak kelas atau siswa populer, aku melihatnya
sebagai seorang laki-laki. Itulah sebabnya aku mampu bertahan selama
bertahun-tahun.
Ren benar. Pada titik tertentu ia menyakiti
perasaanku. Namun, itu tidak pernah mempengaruhiku secara terang-terangan. Ren
layaknya lagu favorit sepanjang masa. Tidak peduli seberapa sering aku
mendengarkan dan menyukai lagu baru, pada akhirnya aku akan kembali
mendengarkan lagu favoritku. Itu siklus yang tidak bisa kuubah—belum bisa
kuubah.
“Apa aku masih yang pertama?” tanya Ren tiba-tiba,
membangunkanku dari lamunan.
Aku menggaruk tengkuk yang tiba-tiba gatal.
Tampaknya Ren menyadari keberadaan Yohan bukan tanpa
sebab.
“Aku…” ragu, aku
menggigit bibir “tidak tahu.”
Anehnya, Ren justru tersenyum lebar. “Sudah kuduga.”
Ren menarik napas dan menghembuskannya seolah itu adalah udara terakhir yang ia
hirup. “Syukurlah.”
Kenapa?
“Alasanku tidak pernah menemuimu lagi setelah hari itu
adalah—“ Ren berhenti sejenak, “bagaimana caraku mengatakannya?” ia melihat
kesana kemari seolah alasannya bisa saja muncul dari balik pepohonan atau
melayang di udara. “Meskipun aku menyukai tulisanmu, aku tidak pernah bisa
menyukaimu.”
Aku tidak terkejut.
“Seberapa keras pun aku mencoba untuk memberimu
sedikit perhatian, aku selalu gagal. Seakan-akan itu adalah hal yang salah.”
Aku benar-benar tidak terkejut. Mungkin.
“Dan aku menyerah.”
Kalimat terakhirnya terdengar putus asa. Aku tidak
bisa menyalahkannya.
Bohong jika itu tidak membuatku terguncang. Maksudku,
kenapa Ren harus mengatakannya? Aku akan merasa lebih baik jika ia tetap diam
dan aku terus berkubang dalam ketidaktahuan. Pengakuannya menyakitiku.
“Asal kamu tahu, aku benar-benar berusaha—“
“Aku mengerti.” Pungkasku. “Lagipula kamu tidak boleh
memaksakan rasa suka. Jangan melakukannya meskipun alasanmu baik. Rasa suka harus
datang secara sukarela.”
Ren terdiam.
Aku kehilangan fokus. Jadi kupejamkan mata sambil
menarik napas dalam-dalam.
Sepertinya Ren sudah kehabisan peluru. Ia tidak bisa
menyakitiku lebih lagi. Kami hanya membisu dalam waktu yang cukup lama.
Tanganku berkeringat. Aku membiarkannya basah.
Semilir angin musim kemarau yang kering mungkin
membuat air mataku kering juga. Aku merasa sedih, tapi tidak ingin menangis.
Memangnya apa yang perlu kutangisi? Toh pada akhirnya hari seperti ini akan
tiba. Aku telah menunggunya selama tujuh tahun.
Keterguncanganku saat ini tidak akan berpengaruh untuk
masa depan. Semua orang pasti mengalaminya juga. Aku tidak perlu khawatir.
“Tami,” Ren kembali bicara, “aku minta maaf.”
Aku menggelengkan kepala. “Tidak perlu.” Kuputar
tubuhku menghadapnya. “Aku tidak pernah berekspetasi apapun. Jadi itu tidak
masalah.”
Ren menggeser kantong biru muda yang sempat terlupakan
mendekatiku. “Ambilah. Sebagai permintaan maafku.”
“Aku dengar kamu suka membaca buku.” Ren menggertakan
giginya. “Tapi aku tidak tahu genre apa yang kamu sukai, jadi aku membeli yang
sampulnya kelihatan bagus.”
Aku mengambil kantong tersebut dan mengeluarkan
isinya. Everything I Never Told You karya
Celeste Ng. Ah, buku ini. Aku hanya
pernah membaca review nya, kenyataan bahwa Ren memberikannya sebagai permintaan
maaf, aku tidak tahu harus berkata apa.
“Terima kasih.” Aku harus tetap menjadi orang yang
beretika. Kumasukan kembali buku tersebut ke dalam kantongnya.
“Semoga kamu menyukainya.” Ucap Ren.
Aku tidak berjanji.
“Aku akan membacanya.”
Ren bangkit dari tempat duduknya. “Sekali lagi,”
katanya, “aku benar-benar minta maaf.”
Aku mengikutinya. “Terima kasih untuk bukunya.” Aku
tidak menyebutnya permintaan maaf karena
aku tidak mau menerimanya.
“Dan terima kasih juga karena telah memberitahuku
alasanmu.” Aku bohong. “Sekarang aku
sudah punya alasan untuk melupakannya.” Aku
jujur.
“Kedengarannya mungkin tidak tahu malu,” ucap Ren,
“tapi apa kita bisa berteman?”
Tanpa pikir panjang aku langsung menjawab, “tentu saja.”
Aku bahkan mengulurkan tangan. “Senang bertemu denganmu, Ren.”
Ia tersenyum. Diriku
di masa lalu pasti akan sangat senang. “Senang bertemu denganmu juga,
Tami.” Ren membalas uluran tanganku.
Yohan sendiri tahu, aku tidak akan membiarkan siapapun
menggenggam tanganku. Tapi jika aku telah membiarkan seseorang melakukannya,
maka aku bisa menaruh kepercayaanku padanya. Setidaknya untuk saat itu saja.
Ren melepaskan uluran tangannya duluan. “Sepertinya
kamu sudah punya janji.” Ia mengarahkan pandangan pada lahan parkir. “Pergilah,
jangan membuatnya menunggu terlalu lama.” Benar.
Aku menggenggam tali kantong berisi permintaan maaf
dengan kedua tanganku. “Sampai jumpa.” Aku tidak bisa menatap matanya
lama-lama. “Semoga kita tidak pernah bertemu lagi, supaya aku merasa lebih
baik.” Aku menunduk kemudian berbalik memunggungi Ren. Tidak perlu menunggu
jawabannya.
Di belakangku, Ren tidak berusaha menghentikanku atau
apa. Ia membiarkanku pergi begitu saja. Jadi aku mempercepat langkahku menuju
tangga dan bergegas menuju mobil Yohan. Aku tidak boleh membuatnya menunggu terlalu lama.
Aku berusaha mengosongkan pikiran di sepanjang jalan
menuju mobil. Akan lebih baik jika aku segera melupakan apa yang telah terjadi.
Aku tidak mau setiap kalimat yang diucapkan Ren bertahan lama di pikiranku.
Sungguh, jika aku mendengar penolakan itu tujuh tahun
yang lalu, rasa sakitnya tidak akan separah ini. Untuk apa Ren menunggu selama
itu kalau ia bisa mengatakannya tujuh tahun lalu? Lagipula Ren tidak pernah
punya perasaan yang sama.
Itulah sebabnya aku tidak mau punya hubungan yang
hanya sekedar main-main.
Tentu saja aku tidak bermain-main dengan Yohan. Ia pernah mengatakan kalau ia menyukaiku
dan seperti yang sudah diduga, aku menolaknya.
Hubungan yang ingin kujalani bukan hanya “Aku
menyukaimu. Jadilah pacarku. Aku akan membahagiakanmu. Aku janji tidak akan
meninggalkanmu bla bla bla.” Tanpamu sekalipun
aku bisa bahagia!
Love language-ku hanya words
of affirmation dan quality time. Meskipun
begitu aku tidak mengucapkan “Aku menyukaimu” secara gamblang, lebih seperti “Kamu
melakukannya dengan baik. Aku akan mendengarkan ceritamu hari ini.” Aku sering
dimarahi karena hal ini. Katanya perempuan yang terlalu mandiri juga tidak
baik. Tapi mau bagaimana lagi? Itulah yang membuatku nyaman.
Yohan bahkan mengakui kalau aku menjengkelkan. Setelah
aku menolaknya, ia tidak pernah menemuiku lagi dan ia juga tidak menghubungiku
barang satu kali pun. Sampai pada suatu hari, aku mendapatinya tengah berdiri
di depan pintu rumahku malam-malam. Katanya ia membolos satu mata kuliah
terakhir di hari itu untuk datang ke rumahku.
Aku tidak bertanya kenapa ia melakukannya, biar Yohan
sendiri yang mengatakannya. Yang jelas, hari itu Yohan memintaku untuk tidak
meninggalkannya, ia bahkan menangis. Itulah pertama kalinya aku memeluk Yohan. Benar.
Itu pertama kali dan yang terakhir. Sampai saat ini, aku hanya memegang
tangannya.
Yohan bilang physical
touch adalah salah satu love language-nya.
Tapi karena aku tidak menyukainya, setiap kali ia ingin melakukan skinship, Yohan akan mengajakku tos. Dengan
begitu aku tahu kapan saja ia ingin menggunakan love language-nya.
Perjalananku dari taman menuju mobil jadi tidak
terasa. Aku sudah bisa melihat Yohan di dalam mobil sedang berkutat dengan
ponselnya. Aku bergegas menghampirinya.
Menyadari kedatanganku, Yohan mendongkakan kepala dan
tersenyum. Aku menuju pintu penumpang di depan, Yohan membukakannya dari dalam.
Aku masuk ke dalam mobil.
Sejuknya.
Aku akan
mengetahuinya jika harus. Yohan tidak
bertanya apapun. Ia hanya diam di kursi pengemudi dan memperhatikan sekitar. “Mau
langsung berangkat?”
Aku bersyukur ia selalu membiarkanku yang duluan
bercerita. “Hm…” suaraku bergetar. Kupejamkan mata supaya tidak perlu melihat
reaksinya.
“Pasang sabuk pengamanmu.” Perintahnya. Aku menurut.
Kemudian mobil pun melaju keluar dari lahan parkir.
Sepanjang perjalanan keluar dari lingkungan kampus,
baik aku maupun Yohan tidak mengatakan sepatah kata pun. Kami sama-sama membisu
selama beberapa ratus meter berikutnya.
Lalu Yohan tiba-tiba bertanya, “Kamu mau makan siang
atau minum caramel macchiato?”
Mungkin karena setiap kali bertemu aku selalu mengajaknya ke café langgananku
untuk minum caramel macchiato, Yohan
jadi tahu kalau pilihanku hanya di antara dua itu.
Perutku kenyang dan aku sudah tidak ingin minum caramel macchiato, “apa saja yang perlu
waktu lama untuk sampai.” Aku mengalihkan pandangan pada kaca jendela di
sampingku. Kusandarkan kepalaku pada kaca tersebut dan mulai menangis pelan. Ah, baru dimulai.
Seberapa keras pun aku berusaha menahannya, suara
isakan tetap saja keluar. Jadi kupejamkan mataku dan mencoba untuk tidak
mengeluarkan air mata lagi.
Sayangnya aku tidak bisa melakukan hal tersebut karena
meskipun menutup mata, aku bisa merasakan tangan Yohan menarik salah satu
pergelangan tanganku dan pelan-pelan mengaitkan jemarinya di antara jari-jariku.
Begitu aku membiarkannya menggenggam tanganku, aku malah semakin menangis. Tapi
aku tetap tidak melihat ke arahnya. Terlalu memalukan.
Selama beratus-ratus meter berikutnya, aku tidak melepaskan
tangan Yohan walaupun air mataku sudah habis.